[LC BANDUNG] Bahasa dan Museum Kata-Kata

Bahasa merupakan elemen penting peradaban dan medium komunikasi paling canggih yang pernah diciptakan manusia. Bahasa digunakan manusia untuk berkomunikasi, menyampaikan gagasan, menunjukkan sikap serta emosi, hingga menjadi alat untuk memperoleh informasi. Semua benda di sekitar kita meliputi elemen bahasa. Segala yang ada di tubuh kita tak luput dari huruf, kata, dan unsur bahasa. Hampir setiap hari manusia hidup dalam ruang lingkup bahasa, mulai dari bangun tidur, hingga selesai beraktivitas.

Semua yang kita lakukan sejak bangun tidur hingga aktivitas mandi dapat digambarkan dan eksis dalam sebuah ruang yang kita namai bahasa. Di ruang publik, kita dapat menemukan ruang-ruang bahasa yang tak terbatas jumlahnya. Di pinggir jalan, kita dapat menemukan sebuah tanda yang terdiri dari sebuah huruf S, dicoret. Kita paham bahwa dengan melihat tanda itu, seseorang telah memberi informasi kepada pengguna jalan bahwa kendaraan dilarang berhenti di sana.

Seorang penumpang bus atau angkot cukup melontarkan satu kata “kiri” untuk dapat berkomunikasi dengan sopir sehingga ia mengarahkan kemudinya ke tepi secara perlahan, menggerakkan tuas lampu sein, dan menginjak pedal rem hingga berhenti di sebuah titik. Satu kata yang telah dilontarkan penumpang menunjukkan peran bahasa yang kuat dan mengagumkan. Bahasa dapat menggerakkan sebuah sistem kemudi kendaraan yang kompleks.

Bahasa menunjukkan siapa penuturnya, lingkungan di mana ia tinggal, hingga profesi seseorang. Dalam sosiolinguistik, kita mengenal register bahasa, kosa kata atau variasi bahasa yang digunakan oleh penutur bahasa untuk tujuan dan maksud tertentu. Mat Solar, salah satu karakter film drama komedi Bajaj Bajuri mempunyai register bahasa berbeda dengan karakter Bastian dalam sitkom bertajuk Tetanga Masa Gitu walaupun keduanya menampilkan kehidupan sehari-hari suami sitri yang tinggal di Jakarta. Yang satu seorang supir bajaj, yang lainnya seorang pekerja kantoran. Register bahasa di Indonesia dipengaruhi juga oleh tren atau sebaliknya.

Pada dua dasawarsa terkahir hingga hari ini, kita mengenal berbagai kosa kata baru, yang timbul hingga tenggelam sekaligus mempengaruhi kosa-kata yang kita gunakan sehari-hari. Pada dekade 90-an, kita mengenal mobil BMW dan kehidupan remaja perkotaan dari film Catatan Si Boy. Masayarakat Indonesia pada zaman film si Boy menjadi tren, kemudian mengenal istilah kata nebeng, eike, kos-kosan, Amrik dan sebagainya, yang mungkin tidak dikenal dan tidak lagi menjadi register bahasa para remaja saat ini.

Pada tahun 1998, kita mengenal istilah baru seperti kata reformasi, turunkan harga, aktivis, hak asasi manusia. Pada awal milenium hingga hari ini kita mengenal istilah-sitilah baru seperti ikan lou han, tanaman anthurium, gelang keseimbangan, batu akik, hingga sepeda fiksi. Pada awal tahun 2020, register bahasa kita berubah. Kosa kata yang kita gunakan tak jauh dari kata masker, covid-19, kesehatan, imun, hoax, swab test, hingga omnicron.

Dalam dunia bisnis, orang-orang tua kita dulu hanya mengenal istilah jual dan beli di pasar. Saat kita melihat kata Alfamart dan Indomaret setiap kita berjalan tak lebih dari 100 meter. Register bahasa yang tidak pernah ada sebelumnya seperti gojek, tokopedia, puluhan marketplace tempat jual beli barang secara daring menjadi kosa kata kita, menjadi bahasa sehari-hari kita. Dalam dunia investasi yang terbilang masih muda, kini kita mengenal aset tidak hanya dalam bentuk saham berupa uang atau emas. Kita telah mengenal mata uang kripto, blockchain, hingga metaverse.

Di dunia pendidikan, kini kita mengenal sekolah daring, pembelajaran tatap muka, zoom, synchronous, asyncronous, hibrid learning, yang tidak pernah kita temukan dalam tulisan-tulisan pemikir sekelas, Chomsky, Vygotsky, dan Plato sekali pun.

Bahasa telah mencatat dengan apik untaian waktu peradaban manusia. Kita menyebutnya sejarah. Dalam sejarah, bahasa-bahasa manusia berkembang, sebagian masih digunakan, sebagian lainnya punah, tetapi selama masih ada umat manusia, bahasa tampaknya akan abadi dan menjadi museum kata-kata.

 

Febrina Nadelia